Kamis, 04 April 2013

PERNIKAHAN SUKU KARO


  1. PENDAHULUAN
    Suku Karo merupakan salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara. Mereka mendiami dataran Tinggi Karo, Deli Serdang, Tanah Deli (Medan), Binjai, Langkat, Dairi, dan Aceh Tenggara. Sejak Indonesia suku Karo tersebar diberbagai daerah di Indonesia dengan berbagai macam profesi yang mereka geluti.
    Sebagai mana suku bangsa yang ada di Sumatera Utara suku Karo memiliki sistem kekerabatan yang bersifat patrilinial dimana seorang anak laki-laki akan mewariskan marga (fams) kepada anak-anaknya. Suku Karo memiliki lima rumpun marga atau disebut marga silima. Dari lima marga ini memiliki submarga.
    Lima marga dan sub marganya antara lain seevagai berikut ;
  1. Karo-karo : Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu dll (Jumlah = 18)
  2. Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero dll (Jumlah = 13)
  3. Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata dll (Jumlah = 16)
  4. Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll (Jumlah = 15)
  5. Perangin-angin: Bangun, Kacinambun, Perbesi,Sebayang dll (Jumlah = 18).
    Total semua submerga adalah = 84


Diera globalisasi saat ini suku Karo berusaha untuk dapat mempertahankan tradisi leluhurnya dari pengaruh budaya luar. Bukan berarti suku Karo anti terhadap budaya luar, banyak nilai-nilai budaya luar juga diterima dan disesuaikan dengan budaya suku Karo sebagai upaya modrenisasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur budayanya.


Salah satu adat istiadat suku Karo yang memiliki keunikan sebagaimana dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia adalah adat perkawinan .Perkawinan merupakan sesuatu yang dianggap sakral oleh semua suku bangsa khususnya di Indonesia. Begitu juga dengan suku Karo berpandangan perkawinan dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan agama dan juga adat istiadat Karo. Pasangan suami /istri yang telah menikah menurut ajaran agama yang mereka anut, namun belum melakukan pernikahan menurut tradisi adat istiadat Karo dianggap belum sah dan tetap memiliki kewajiban membayar utang adat.

Pada dasarnya adat perkawinan suku Batak Karo mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral dalam pemahaman adat Batak Karo bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (pihak sinereh), karena ia memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak pengantin laki-laki (pihak sipempoken), sehingga pihak laki-laki juga harus menghargainya dengan menanggung semua biaya acara adat dan makanan adat. Perkawinan marupakan suatu upacara di mana mempersatukan seorang laki-laki dengan perempuan atau dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda melalui hukum.

Dalam adat perkawinan batak Karo akan terjadi tindak tutur antara pihak anak beru laki-laki (pihak penerima istri) dengan pihak anak beru perempuan (pihak pemberi istri), kemudian dilakukan pertuturan antara anak beru laki-laki dengan kalimbubunya (pihak penerima istri), begitu juga antara anak beru perempuan dengan kalimbubunya (pihak pemberi istri). Anak beru disini berfungsi sebagai penyambung lidah antara kepentingan dua kelompok keluarga, yaitu keluarga pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.

Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan arwah para leluhurnnya. Pada perkawinan yang sesuai dengan adat (arah adat) dahulu biasanya peranan orang tua yang dominan. Artinya bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat berlangsung, mulai dari perkenalan calon mepelai (petandaken), meminang (maba belo selambar), nganting manuk dan pesta adat (kerja adat).

Sifat perkawinan dalam masyarakat suku Karo adalah eksogami artinya harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan). Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya. Perkawinan diantara semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest), perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.
Perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya. Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah untuk membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang berlaku.
Larangan perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan pada masyarakat Karo. Karena nilai budaya karo sangat tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak karo dalam mewujudkan kehidupan yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera.
Sanksi bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang) adalah :diusir dari tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa Karo disebut ‘i peridi i tiga’).
2. JENIS-JENIS PERKAWINAN
Di dalam masyrakat Karo, yang namanya suatu pernikahan itu juga memiliki suatu jenis-jenisnya, yang dimana jenis-jenis pernikahan dalam masyrakat Karo itu adalah sebagai berikut;


1.  Berdasarkan status dari pihak yang melakukan pernikahan, dapat beberapa jenis yaitu;
a.  Gancih Abu ( Ganti Tikar)
Suatu pernikahan yang dimana seorang laki-laki menikahi saudara, dalam keadaan seperti ini istri dari laki-laki tersebut sudah meninggal.

b.  Lako Man ( Turun Ranjang)
Suatu pernikahan yang dimana seseorang laki-laki menikahi seorang wanita, yang dimana seorang wanita tadi adalah bekas dari istri saudaranya atau ayahnya, dalam keadaan ini ayahnya/saudaranya telah meninggal. Namun Lako Man, sendiri juga memiliki jenis-jenis perikahan, yang dimana jenis-jenis ini adalah sebagai berikut;

·  Pernikahan Mindo Makan
Suatu pernikahan yang dimana seorang pria menikahi seorang wanita yang dulunya istri dari saudara ayahnya.
·   Pernikahan Mindo Cina
Suatu pernikahan yang dimana seorang pria dalam tutur menikahi seorang neneknya.
·   Kawin Ciken
Suatu pernikahan yang dimana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang dulu adalah istri dari ayahnya ataupun saudaranya, tetapi sudah ada perjanjian sebelum ayahnya atau saudaranya meningal, dalam hal ini wanita tadi masih muda dan suaminya sudah tua.
·   Iyan
Suatu perkawinan yang dimana seorang suami mempunyai dua orang istri dan dimana salah satu istri tadi belum melahirkan seorang anak laki-laki, kemudian dinikahkan dengan seorang saudara dari laki-laki tadi yang belum menikah. Pernikahan semacam ini banyak terjadi pada zaman dahulu.

c.   Piher Tendi/ Erbengkila Bana
Adalah suatu pernikahan yang dimana dalam tutur seorang istri itu memanggil benkila kepada suaminya. Tetapi pada daerah Karo langkat, pernikahan seperti ini sering dinamakan juga dengan Piher Tendi.

d.  Cabur Bulung
Adalah suatu pernikahan yang dimana terjadi ketika sepasang yang akan menikah itu menikah muda, pernikahan semacam ini biasanya berlangsung karena mempunyai alasan, yaitu karena melihat berdasarkan mimpi atau suratan takdir tangan dari seorang yang akan melangsungkan pernikahan ini.

2.  Berdasarkan jauh dekatnya suatu hubungan kekeluargaan, dapat diuraikan sebagai berikut.:

a.  Pertuturken
Adalah suatu pernikahan yang dimana terjadi karena seorang pria dan wanita ini tidak mempunyai hubungan kekeluargaan, maksud kekeluargaan disini adalah erimpal.

b.   Erdemu Bayu
Adalah suatu pernikahan yang dimana terjadi, karena seorang pria dan wanita yang akan menikah ini mempunyai suatu hubungan keluarga yaitu saling erimpal.

c.  Merkat Senuan
Adalah suatu pernikahan yang terjadi antara seorang pria yang menikahi seorang putri dari puang kalimbubunya. Pada umumnya suatu pernikahan seperti ini sangat dilarang.
d.  La Arus
Adalah suatu pernikahan antara pria dan wanita, menurut suatu adat sangat terlarang, contohnya menikahi turangnya, turang impal, atau puteri dari anak berunya.

    3. Nangkih (Kawin Lari)
    Dalam suku Karo juga dikenal istilah kawin lari atau disebut dengan Nagkih . Nagkih terjadii karena ada kemungkinan banyak dari saudara yang ingin mengawini gadis tersebut, demi menjaga agar tidak terjadi perpecahan keluarga,maka dengan sembunyi-sembunyi diatur agar dilakukan acara ““Nangkih””. Selain itu Nangkih bisa terjadi karena orang tua sigadis tidak merestui perkawinan anaknya dengan laki-laki pilihan anaknya, maka silaki-laki akan membawa sigadis kerumah anak berunya.Nangkih” artinya membawa si gadis ke rumah anak berunya yang dilakukan oleh pria yang hendak mengawininya. Dalam “Nangkih” ini ada acara atau kegiatan yang perlu dilakukan. Tapi, sebelum dijelaskan tentang “Nangkih” ini dapat dikemukakan bahwa bagi pria dan gadis yang tidak ada hubungan keluarganya langsung, tapi tidak terlarang untuk menjadi suami istri, apalagi kalau pasangan ini berpacaran beda kampung, di saat inilah terjadi “Nangkih”.

    Jadi berdasarkan uraian di atas, ada dua jenis “Nangkih”, yaitu “Nangkih” yang direstui dan “Nangkih” yang tidak direstui. 

    Secara tradisional, maka orang melihat hari yang dianggap baik untuk melakukan “Nangkih” tadi. Di sini berperan “Guru Sibeluh Niktik Wari”. Biasanya bagi orang yang masih berpegang teguh pada adat ini memilih hari untuk melakukan “Nangkih” ini. Hari tersebut antara lain: Cukera Enem Berngi, Aditia Naik, Budaha Ngadep, Cukera Dua Puluh Berngi, Nggara Simbelin, dan Budaha Medem.

    Ketika diadakan acara angkih, disediakan “penadingen” atau barang yang ditinggalkan untuk keluarga si gadis baik itu cincin, pisau tumbuk lada, kain adat, dll.Sesampainya di tempat nagkih, maka kedua orang tua yang hendak berumah tangga itu diwajibkan “encekuh busan” (memasukan tangan ke dalam tempat menyimpan beras). Maknanya agar kelak sesudah berumah tangga mereka bekerja keras untuk mencari beras, demi kehidupan mereka dan keturunannya. Mereka lalu duduk di tikar putih yang telah disediakan, disuguhkan makanan seperti cimpa atau bohan rires. Maknanya adlah agar di dalam berumah tangga mereka memperoleh kesenangan hidup.

    Acara nya biasanya diadatkan secara tradisional selama 4 hari, dan selama empat ahri tersebut kedua mempelai tidak boleh menyebrangi sungai dan melihat gunung. Maknanya untuk menambah kemesraan hubungan silaturahmi antara keduanya.

    Di malam pertama, kepada perempuan diikatkan pada ujung kainnya “serpi mehuli” (mata uang gulden). Keduanya harusmandi ke sungai dipagi hari kira-kira pukul 04.00.

    Keesokan harinya, dihujuklah anak beru pihak laki-laki member kabar kepada orang tua pihak perempuan bahwa anaknya telah melangsungkan perkawinan melalui “Nangkih”. 

    Pada hari keempat setelah “Nangkih”, biasanya orang tua pihak perempuan dating melihat anaknya yang sedang “Nangkih” dengan membawa nasi beserta lauk pauknya. Tujuannya adalah menjaga perasaan sianak serta melihat kondisi kehidupan si pria/kemapanan hidupnya. Setelah acara makan selesai keluarga pihak laki-laki mengisi “sumpit” Kalimbubu dengan isi gula merah dengan kelapa lalu diantarkan ke batas desa. Untuk acara selanjutnya dilanjutkan dengan “Nganting Manuk”.



    3. PROSESI PERKAWINAN
    1. Pihak-Pihak Yang Terlibat
Di kalangan orang Karo, Merga Silima, Rakut Sitelu, Tutur Sepuluhsada(berasal dari tutur siwaluh dengan tambahan 3 tutur), dan Perkade-kaden Sisepuluh Dua tambah Sada terdapat suatu keunikan dalam prosesi awal pernikahan, yaiut maba belo selambar/ ngembah belo selambar (secara harafiah berarti membawa sirih selembar) yang dapat dikatakan sebagai prosesi lamaran.
Menuju acara perkawinan agung, ditemukanlah tutur sepuluhsadayang terdiri atas:
  1. Puang Kalimbubu
  2. Kalimbubu
  3. Sembuyak
  4. Senina
  5. Senina Sepemeren
  6. Senina Separibanen
  7. Senina Sendalanen
  8. Senina Sepengalon
  9. Anak Beru
  10. Anak Beru Menteri
  11. Anak Beru Singukuri
Senina Sepemeren dan Senina Separibanen adalah anak dari Puang (dari garis keturunan ibu), sedangkan Senina Sepengalon dan Senina Sendalanen berasal dari diri sendiri/keluarga pihak laki-laki pelamar. Kenapa tutur siwaluh menjadi tutur sisepuluhsada? Catatan sejarah menjelaskan bahwa bagi suku Karo, angka 11 lebih keramat dari angka 8.
Dalam acara maba belo selambar ini, pembuka acara adat adalah 5 kampil lengkap berisi daun sirih, tembakau, rokok, pinang, kapur, dan gambir yang harus ada.
Jika akan diadakan perkawinan, maka harus tertulis jelas SIJALAPEN sebagai berikut.
1. Pihak Yang Mengawini (Si Empo)
  1. Gelar Bapa Simupus (Nama Ayah Ayah Kandung/ Nama Kakek dari Ayah)
  2. Bapana/Sipempoken (Nama Ayak Kandung)
  3. Senina
  4. Anak Beru Singerana
  5. Anak Beru Cekoh Baka
  6. Anak Beru iangkip
2. Pihak Yang Dikawini (Si Sereh)
  1. Gelar Bapa Simupus (Nama Ayah Ayah Kandung/ Nama Kakek dari Ayah)
  2. Bapana/Sipesereken (Nama Ayah Kandung)
  3. Senina
  4. Anak beru Singerana
  5. Anak Beru Cekoh Baka
  6. Anak Beru Iangkip
  7. Kalimbubu
Selain itu perlu juga diketahui BATANG TUMBA sebagai berikut.
  1. Batang Unjuken = yang menerima adalah orang tua perempuan yang kawin
  2. Singalo Ulu Emas = kalimbubu/impal dari ayah
  3. Singalo Bere Bere = mama/ turang dari ibu
  4. Singalo Perbibin = senina dari ibu
  5. Sirembah Kulau/Perkembaren = bibi dari ayah/ turang ayah
  6. Perseninan = senina
  1. Tahapan Prosesi
    Prosesi dan berbagai macam varian yang komplek dari sistem perkawinan dalam adat karo diatas akan sangat jarang kita temui dewasa ini, bahakan mungkin hampir tidak ada lagi Secara umum yang masih berlangsung secara kronologis adalah sebagai berikut :
    1. Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/Nungkuni
    Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada “Anak Beru” masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”.
    Tahapan ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan kepada “Anak Beru” masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu” untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”
    2. Mbaba Belo Selambar
Acara Maba Belo Selambar (membawa selembar daun sirih) , adalah suatu upacara untuk meminang seorang gadis menurut adat Karo yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh sanak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo.
Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga perempuan dan untuk sarana Maba Belo Selambar tersebut pihak pria membawa:
1. Kampil Pengarihi / Kampil Pengorat
    2. Penindih Pudun, Uis Arinteneng, Pudun dan Penindiken Rp. 11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat dimulai maka terlebih dahulu dijalankan Kampil Pengarihi / Kampil Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia menerima maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan pihak pria sudah dimengerti maksudnya dan pihak keluarga perempuan bersedia menerima pinangan tersebut maka dibuatlah pengikat janji (penindih pudun) berupa uang dan ditentukan kapan akan diadakan acara selanjutnya yaitu Nganting Manok. Pada waktu penyerahan uang penindih pudun tersebut uang dimaksud diletakan pada sebuah piring yang dilapisi dengan uis arinteneng (sejenis kain ulos).


Pada acara maba belo selambar terdapat tiga tingkatan, yaitu:
    1. Tersinget-singet
    2. Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/Nungkuni
    3. Maba Belo Selambar
    3. Nganting Manuk
    Menjelang hari nganting manuk, kedua belah pihak yang terlibat dudah menyampaikan undangan terhadap golongan adat yang mempunyai kedudukan dalam masalah yang bakal dilaksanakan.
    Acara Nganting Manok, adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan wanita guna membicarakan ganta tumba/unjuken ras mata kerja yang artinya adalah tentang masalah pesta dan pembayaran (uang mahar) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Dalam adat masyarakat Karo didalam membuat atau merancang suatu pesta ada hak dan kewajiban dari pihak-pihak Kalimbubu (pihak perempuan) yang terdiri dari, Singalo bere-bere, Singalo perkempun, Singalo perbibin.


Adapun golongan adat yang berkompeten dari pihak laki-laki dalam merundingkan perkawinan adalah sebagai:
1. Sukut Siempo (Pihak yang kawin dari si pria)
2. Senina Silako Runggu (saudara yang ikut bermusyawarah)
3. Senina Sepemeren, Separibanen, Sepengalon
4. Anak Beru dan Anak Beru Menteri
5. Kalimbubu Singalo Ulu Emas
6. Kalimbubu Singalo Perkempun (Puang Kalimbubu)
Sedangkan golongan adat pihak perempuan adalah:
1. Sukut Sinereh
2. Senina Silako Runggu
3. Anak Beru dan Anak Beru Menteri
4. Kalimbubu Singalo Bere Bere
5. Kalimbubu Singalo Perninin
6. Kalimbubu Singalo Perbibin
7. Sirembah Kulau
Untuk acara musyawarah “nganting manuk” ini, maka kelengkapan untuk acara makan bersama ditanggung oleh pihak laki-laki. Musyawarah atau Runggu dimulai setelah selesai acara makan bersama, Adapun tokoh yang berbicara dari masing-masing pihak adalah “Anak Beru Tua”. Ditampilkan dalam runggu ialah: Anak Beru Tua, Anak Beru Cekoh Baka, Senina, Kalimbubu, dan Puang Kalimbubu.
Di awal runggu, pertama kali anak beru laki-laki mempersembahkan 5 kampil (tempat sirih) lengkap dengan isinya. Adapun isi kampil tersebut adalah sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau, kacip (pembelah pinang), dan toktok sirih. Kampil tersebut diterima anak beru dari pihak perempuan lalu membaginya masing-masing satu kampil kepada: Sukut Sinereh, Kalimbubu Singalo Bere Bere, Kalimbubu SIngalo Perbibin, Senina Silako Runggu dan Anak Beru.
Dalam runggu ada beberapa hal yang harus dibicarakan, yaitu:
1. Berapa jumlah uang hantaran/ batang unjuken.
2. Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Bere Bere
3. Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Perbibin
4. Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Perninin.
5. Berapa uang hantaran kepada Anak Beru.
Pihak Kalimbubu berhak menerima tukor (uang mahar) dari pihak laki-laki yang kawin tersebut dan disamping itu berkewajiban pula membayar utang adat berupa kado (luah) kepada pengantin. Hak dari Kalimbubu tadi antara satu daerah/wilayah dengan wilayah yang lain bisa berbeda jumlahnya tergantung kebiasaan setempat.


Kalau didaerah wilayah Singalor Lau (Tiga Binanga) yang harus diberikan kepada Kalimbubu Singalo Bere-Bere Rp. 86.000, Kalimbubu Singalo Perkempun Rp. 46.000, dan Kalimbubu Singalo Perbibin Rp. 24.000 . Tapi bilamana yang melakukan perkawinan tersebut dianggap keturunan ningrat (darah biru / Sibayak) dan berada (kaya) maka uang mahar diatas biasa ditambahi dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.



Tetapi hal ini tidak terjadi patokan karena tidak ada keharusan membayarkan uang tersebut tetapi hal dimaksud hanya sekedar sebuah penghargaan (jile-jile) atau sebuah pernyataan kepada masyarakat bahwa yang kawin tersebut bukan orang sembarangan. Sesungguhnya uang mahar tadi masih ada yang berhak tetapi sesuai tujuan tulisan yang akan diulas hanyalah uang mahar yang menjadi hak dari Kalimbubu pihak perempuan tersebut. Disisi lain pihak Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado (luah).
Dirundingkan juga kapan hari pesta perkawinan. Biasanya setelah sampai waktu sebelas hari setelah nganting manuk, bagaimana bentuk pesta (dalam Karo ada 3 tingkatan pesta perkawinan yaitu pesta singuda, yakni hanya mengundang kerabat terdekat, pesta sintengah yaitu pesta yang mengundang seluruh keluarga dan diadakan di jambur dengan perhitungan beras yang dimasak sekitar 15 kaleng, dan pesta sintua, yang diharuskan memorong sapi dengan ukuran kira-kira 7-8 kaleng sebagai lauknya.) Jika diadakan pesta sintua, maka tulang putur diberikan kepada Kalimbubu, tulang ikur jepada Anak Beru, dan tulang tagan kepada pengual.
Untuk memperkuat apa yang telah dirundingkan, terutama tentang hari-H perkawinan dan sebagainya, disediakan tiga helai daun pandan oleh Anak Beru laki-laki, diserahkan kepada pihak wanita,yaitu untuk Kalimbubu, Anak Beru, dan Orang Tua wanita. Selain itu diberikan juga “penindih pudun” (uang jaminan atas persetujuan yang telah disepakati). Nanti setelah selesainya acar perkawinan “penindih pudun”akan dikembalikan kepada keluarga laki-laki.
Jika terjadi pengingkaran terhadap hasil nganting manuk tadi, jika yang mengingkari adalah pihak laki-laki maka ia tidak berkewajiban mengganti apa pun kepada keluarga wanita, tapi jika yang ingkar adalah keluarga wanita,maka mereka harus membayar segala biaya yang telah dikeluarkan dalam prosesi nganting manuk dengan berlipat ganda.
Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu ;
- Singuda, pesta adatnya dilakukan dirumah saja,
- Sintengah, bila kumpul seluruh sanak family,
- Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau.
Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.
4. Pasu-Pasu/Nikah
Perkawinan dalam suku karo dilakukan untuk mendapat pengakuan dari adat dan juga agama. Maka sebelum prosesi adat dilakukan dilangsungkan pernikahan bagi yang menganut agama Islam atau pemberkatan bagi yang beragama Kristen.
    5. Kerja Adat
    Pelakasanaan Kerja Adat biasanya dilakukan selama seharian penuh di kampung pihak perempuan. Tempat pelaksanaan Kerja Adat biasanya dilakukan di Balai Desa atau yang biasa juga disebut dengan istilah “Jambur” atau “Lost”
    Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.
Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.
Yang perlu ditempuh dan diselesaikan serta menjadi keharusen secara menyeluruh dalam acara adat Karo hanya berkisar tentang pelaksanaan : tukur (mas kawin/utang mahar) , bebere, perkempun, perbibin, perkembaren. Selain itu perlu diketahui gantang tumba sebagai berikut : batang unjuken, yang menerima adalah orang tua perempuan. Singalo ulu emas, kalimbubu/impal dari bapak. Singalo bere-bere, mama/turang dari Nande/Ibu. Singalo perbibin, senina dari nande/ibu. Sirembah kulau/perkembaren, bibi turang ayah/bapak. Perseninan, senina.


Pemberian tersebut tidak terikat dalam adat, namun merupakan simbol kegembiraan dan doa restu belaka. Setelah suami-istri selesai di-osei , begitu pula upacara adat kepada keturunan/anak mereka, acara selanjutnya sebagai berikut : pengantin pria/wanita bersama keturunan/anak mereka dipersatukan bersama kedua pengantin , kemudian diselimuti bersama dengan uis gatip (kain adat Karo) di iringi doa restu dari kedua pihak kalimbubu. Acara selanjutnya kedua pengantin/anak mereka di jemput dan diarak beramai-ramai oleh anak beru menuju pentas pelaminan (di daulat kembali sebagi pengantin baru).

Agenda acara kemudian adalah pemberian kata sambutan (petuah- tuah) sesuai dengan jadwal yang telah di persiapkan sebelumnya sebagai berikut : ngerana sukut, sembuyak, sipemeren, siparibanen kemudian landek/menari bersama kedua pengantin sekeluarga. Ngerana kalaimbubu singalo ulu emas/bere-bere, kalimbubu singalo perkempun, singalo perbibin, dilanjutkan landek/menari bersama pengantin sekeluarga. Ngerana kalimbubu, puang kalimbubu, kalimbuibu singalo ciken-ciken, seterusnya landek bersama kedua pengantin sekeluarga. Ngerana Anak beru, anak beru Menteri, disambung landek bersama kedua pengantin sekeluraga. Ngerana mewakili tamu undangan dan teman meriah, kemudian landek bersama pengantin sekeluarga. Ngerana yang mewakili dari pihak pemuka agama (Geraja bagi yang beragama Kristen dan Pengurus Majelis Taklim bagi yang beragama Islam)di lanjutkan dengan menari bersama. Ngerana kedua pengatin, guna ngampu ranan e kerina (menyambut seluruh kata sambutan yang disampaikan tersebut diatas).
Pihak Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado (luah).
Kado (luah) KALIMBUBU SINGALO BERE-BERE, berupa:
  • Lampu Menyala, maknanya adalah agar rumah tangga (jabu) yang baru dibentuk tersebut menjadi terang kepada sanak keluarga (kade-kade) pada khususnya dan terhadap semua orang pada umumnya.
  • Kudin Perdakanen ras Ukatna, maknanya adalah sebagai modal awal membangun rumah tangga baru tersebut dengan harapan agar kedua pengantin rajin bekerja mencari makan.
  • Pinggan Perpanganen, maknanya adalah agar kedua mempelai mendapat berkat dari Yang Maha Kuasa.
  • Beras Meciho (page situnggong tare mangkok dan naroh manok kemuliaan), maknanya adalah agar kedua mempelai tersebut selalu serasi dan mendapatkan kemuliaan.
  • Manok Asuhen (manok pinta-pinta), maknanya adalah agar keluarga yang baru tersebut diberi rezeki yang baik dan apapun yang dicita-citakan berhasil.
  • Amak Dabuhen (amak tayangen ras bantal), maknanya adalah agar keluarga baru tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
    Demikian juga SINGALO PERKEMPUN membawa kado (luah) berupa:
  • Satu buah amak (amak cur)
  • Satu buah bantal
  • Satu ekor ayam (manok asuhen)
  • Dua buah piring
    Seterusnya SINGALO PERBIBIN akan memberikan kado (luah) berupa:
  • Selembar uis gara (perembah pertendin)
  • Selembar tikar kecil (amak cur)
Acara makan siang bersama dilakukan tepat jam 13.00, seandainya acara memberi nasehat/petuah belum selesai sebelum acara makan, maka pemberian nasehat/petuah di lanjutkan selesai makan bersama, biasanya upacara selesai jam 16.00 kalau anak berunya tepat mengaturkan waktunya. Ada kalanya dalam acara adat perkawinan dimeriahkan seperangkat gendang sarune atau keyboard, lajim juga setelah pemberian petuah/nasehat oleh terpuk keluarga disambung menari bersama terpuk tersebut. Juga biasa dilakukan setelah selesai “pedalan tembe tembe” dimana pengantin wanita dijemput oleh “terpuk si empo” (keluargta pengantin laki- laki) diadakan menari bersama, kemudian menari dan menyanyi kedua pengantinnya. pada saat itu banyak keluarga memberikan”sumbangan langsung untuk perjabun pengantin berupa lembaran- lembaran uang” kadang kadang sumbangan itu mencapai jutaan rupiah.


    6. Persadan Tendi/Mukul
    Pelaksanaan Persadan Tendi dilakukan pada saat makan malam sesudah siangnya dilakukan Kerja Adat bagi pengantin pria dan wanita. Dalam pelaksaan Persadan Tendi ini akan disiapkan makanan bagi kedua pengantin yang tujuannya adalah untuk memberi tenaga baru bagi pengantin. Pengantin akan diberi makan dalam satu piring yang sudah siapkan.
    Setelah acara pesta selesai diadakan, dilanjutkan dengan acara makan bersama (mukul) kedua pengantin yang dibarengi sanak keluarga terdekat. Acara ini diadakan dirumah kedua pengantin dan kalau rumahnya belum ada, diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki tetapi kalau didaerah Langkat acara mukul ini diadakan dirumah pengantin perempuan. Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru tersebut. Untuk acara tersebut oleh Kalimbubu Singalo Bere-Beredisiapkanmanoksangkepberikutsebutirtelurayam


    Untuk tempat makan disiapkan pinggan pasu beralaskan uis arinteneng diatas amak cur. Didaerah Langkat acara Mukul ini diawali dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju rumah orangtua pengantin perempuan dan sesampai dipintu rumah orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk ditepung tawari dengan ngamburken beras meciho kepada kedua pengantin. Hadirin lalu “ralep-alep” dan “ndehile” dan ketika nepung wari (njujungi beras) ini Kalimbubu memberi petuah atau berkat (pasu-pasu) : “Enda amburi kami kam alu beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana”. (ini kami hamburkan/tuangi kalian dengan beras putih bening, karena itu keras(kuat) pun beras ini lebih keras(kuat) Roh kalian berdua.

    Setelah itu baru masuk kerumah dan dilanjutkan dengan acara suap-suapan antara kedua pengantin. Bibi pengantin kemudian memberi sekepal nasi kepada masing-masing pengantin dan si suami menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Sebelum makan biasanya makanan ayam dan telur sebutir untuk kedua pengantin tersebut diramal dulu maknanya oleh guru (dukun/paranormal) dan biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua suamiistriyangbarutersebut.

    Bahwa didalam semua upacara adat Karo dalam proses melamar, membayar utang adat kepada Kalimbubu semua sarana-sarana kelengkapan adat seperti misalnya belo bujur diletakkan diatas uis arinteneng yang diletakan diatas piring dan amak cur. Belo bujur ini bermakna supaya diberkati Tuhan dan uis arinteneng tersebut bermakna supaya roh-roh menjaditenang.


    Melihat proses-proses perkawinan tersebut penuh dengan simbol-simbol yang bermakna kepercayaan maka benarlah hasil penelitian A. Van Gennep seorang Sosiolog bangsa Perancis yang mengatakan perkawinan pada masyarakat Karo adalah bersifat religius. Dan seperti apa yang dikutip oleh Darwan Prinst S.H, dalam bukunya adat Karo sifatnya religius dari perkawinan adat Karo dimaksud terlihat dengan adanya perkawinan maka perkawinan tersebut tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang hadir saja, tapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua-kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.


    7. Ngulihi Tudung
    Ngulih tudung dilaksanakan setelah 2-4 hari setelah hari Pesta Adat berlalu. Orang tua pihak laki-laki kembali datang kerumah Orang tua pihak perempuan (biasanya pihak orang tua laki-laki membawa makanan dan lauk). Dalam prosesi Ngulihi Tudung dilakukan untuk mengambil kembali pakaian-pakaian adat pihak laki-laki yang mungkin ada tertinggal di Desa pihak perempuan disaat pesta adat digelar.


  1. Ertaktak

    Pelaksanaan ini dilakukan di rumah pihak kalimbubu (pihak perempuan) pada waktu yang sudah ditentukan, biasanya seminggu setelah kerja adat. Disini dibicarakanlah uang keluar saat pergelaraan pesta adat dilaksanakan. Dibicarakan pula tenang pengeluaran kerja adat yang sudah dibayar terlebih dahulu oleh pihak anak beru, sembuyak dan juga Kalimbubu. Setelah acara Ertaktak dilaksanakan, maka semua pihak baik Kalimbubu, Sembuyak, dan Anak Beru akan makan bersama-sama.






Referensi:
-www.karoweb.or.id
-www.karo.or.id
-www.karosiadi.blogspot.com

Tidak ada komentar: