PENDAHULUAN
Suku Karo merupakan salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera
Utara. Mereka mendiami dataran Tinggi Karo, Deli Serdang, Tanah Deli
(Medan), Binjai, Langkat, Dairi, dan Aceh Tenggara. Sejak Indonesia
suku Karo tersebar diberbagai daerah di Indonesia dengan berbagai
macam profesi yang mereka geluti.
Sebagai
mana suku bangsa yang ada di Sumatera Utara suku Karo memiliki
sistem kekerabatan yang bersifat patrilinial dimana seorang anak
laki-laki akan mewariskan marga
(fams) kepada
anak-anaknya. Suku Karo memiliki lima rumpun marga atau disebut
marga
silima. Dari
lima marga ini memiliki submarga.
Lima marga dan sub marganya antara lain seevagai berikut ;
Karo-karo : Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu dll
(Jumlah = 18)
Tarigan : Bondong, Ganagana, Gerneng, Purba, Sibero dll
(Jumlah = 13)
Ginting: Munthe, Saragih, Suka, Ajartambun, Jadibata dll
(Jumlah = 16)
Sembiring: Sembiring si banci man biang (sembiring
yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung
(Jumlah = 4); Sembiring simantangken biang (sembiring yang
tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi dll
(Jumlah = 15)
Perangin-angin: Bangun, Kacinambun, Perbesi,Sebayang dll
(Jumlah = 18).
Total semua submerga adalah = 84
Diera globalisasi saat ini suku Karo berusaha untuk dapat
mempertahankan tradisi leluhurnya dari pengaruh budaya luar. Bukan
berarti suku Karo anti terhadap budaya luar, banyak nilai-nilai
budaya luar juga diterima dan disesuaikan dengan budaya suku Karo
sebagai upaya modrenisasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur
budayanya.
Salah satu adat istiadat suku Karo yang memiliki keunikan
sebagaimana dengan suku bangsa lain yang ada di Indonesia adalah adat
perkawinan .Perkawinan merupakan sesuatu yang
dianggap sakral oleh semua suku bangsa khususnya di Indonesia. Begitu
juga dengan suku Karo berpandangan perkawinan dianggap sah apabila
telah sesuai dengan ketentuan agama dan juga adat istiadat Karo.
Pasangan suami /istri yang telah menikah menurut ajaran agama yang
mereka anut, namun belum melakukan pernikahan menurut tradisi adat
istiadat Karo dianggap belum sah dan tetap memiliki kewajiban
membayar utang adat.
Pada dasarnya adat perkawinan suku Batak Karo mengandung nilai
sakral. Dikatakan sakral dalam pemahaman adat Batak Karo bermakna
pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan (pihak sinereh),
karena ia memberikan anak perempuannya kepada orang lain pihak
pengantin laki-laki (pihak sipempoken), sehingga pihak
laki-laki juga harus menghargainya dengan menanggung semua biaya
acara adat dan makanan adat. Perkawinan marupakan suatu upacara di
mana mempersatukan seorang laki-laki dengan perempuan atau
dipersatukanya dua sifat keluarga yang berbeda melalui hukum.
Dalam adat perkawinan batak Karo akan terjadi tindak tutur antara
pihak anak beru laki-laki (pihak penerima istri) dengan pihak
anak beru perempuan (pihak pemberi istri), kemudian dilakukan
pertuturan antara anak beru laki-laki dengan kalimbubunya
(pihak penerima istri), begitu juga antara anak beru perempuan
dengan kalimbubunya (pihak pemberi istri). Anak beru disini
berfungsi sebagai penyambung lidah antara kepentingan dua kelompok
keluarga, yaitu keluarga pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.
Dengan demikian, perkawinan adalah merupakan ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan wanita, termasuk keseluruhan keluarga dan
arwah para leluhurnnya. Pada perkawinan yang sesuai dengan adat (arah
adat) dahulu biasanya peranan orang tua yang dominan. Artinya
bahwa pihak orang tualah yang mengusahakan agar perkawinan itu dapat
berlangsung, mulai dari perkenalan calon mepelai (petandaken),
meminang (maba belo selambar), nganting manuk dan pesta
adat (kerja adat).
Sifat
perkawinan
dalam masyarakat suku Karo adalah eksogami
artinya harus menikah atau mendapat jodoh diluar marganya (klan).
Bentuk
perkawinannya adalah jujur
yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio
magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari
klannya dan pindah ke dalam klan suaminya. Perkawinan diantara
semarga dilarang dan dianggap sumbang (incest), perkawinan eksogami
tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga
Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya
jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu
seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin
diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal
klannya berbeda.
Perkawinan
semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi
faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya. Pelaksanaan
perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba
Belo Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah untuk
membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh
i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya
suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari
perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya
apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang
berlaku.
Larangan
perkawinan yang dilangsungkan diantara orang-orang yang semarga
dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem
kekerabatan pada masyarakat Karo. Karena nilai budaya karo sangat
tinggi pengaruhnya dalam budaya Batak karo dalam mewujudkan kehidupan
yang lebih maju, damai, aman, tertib, adil, dan sejahtera.
Sanksi
bagi yang melakukan perkawinan semerga (sumbang) adalah :diusir dari
tempat tinggal mereka, dikucilkan di masyarakat adat, dikucilkan dan
diusir oleh keluarga, dan dimandikan di depan umum (dalam bahasa Karo
disebut ‘i peridi i tiga’).
2.
JENIS-JENIS PERKAWINAN
Di
dalam masyrakat Karo, yang namanya suatu pernikahan itu juga memiliki
suatu jenis-jenisnya, yang dimana jenis-jenis pernikahan dalam
masyrakat Karo itu adalah sebagai berikut;
1. Berdasarkan
status dari pihak yang melakukan pernikahan, dapat beberapa jenis
yaitu;
a. Gancih
Abu ( Ganti Tikar)
Suatu
pernikahan yang dimana seorang laki-laki menikahi saudara, dalam
keadaan seperti ini istri dari laki-laki tersebut sudah meninggal.
b. Lako
Man ( Turun Ranjang)
Suatu
pernikahan yang dimana seseorang laki-laki menikahi seorang wanita,
yang dimana seorang wanita tadi adalah bekas dari istri saudaranya
atau ayahnya, dalam keadaan ini ayahnya/saudaranya telah meninggal.
Namun Lako Man, sendiri juga memiliki jenis-jenis perikahan, yang
dimana jenis-jenis ini adalah sebagai berikut;
· Pernikahan
Mindo Makan
Suatu
pernikahan yang dimana seorang pria menikahi seorang wanita yang
dulunya istri dari saudara ayahnya.
· Pernikahan
Mindo Cina
Suatu
pernikahan yang dimana seorang pria dalam tutur menikahi seorang
neneknya.
· Kawin
Ciken
Suatu
pernikahan yang dimana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan
yang dulu adalah istri dari ayahnya ataupun saudaranya, tetapi sudah
ada perjanjian sebelum ayahnya atau saudaranya meningal, dalam hal
ini wanita tadi masih muda dan suaminya sudah tua.
· Iyan
Suatu
perkawinan yang dimana seorang suami mempunyai dua orang istri dan
dimana salah satu istri tadi belum melahirkan seorang anak laki-laki,
kemudian dinikahkan dengan seorang saudara dari laki-laki tadi yang
belum menikah. Pernikahan semacam ini banyak terjadi pada zaman
dahulu.
c. Piher
Tendi/ Erbengkila Bana
Adalah
suatu pernikahan yang dimana dalam tutur seorang istri itu memanggil
benkila kepada suaminya. Tetapi pada daerah Karo langkat, pernikahan
seperti ini sering dinamakan juga dengan Piher Tendi.
d. Cabur
Bulung
Adalah
suatu pernikahan yang dimana terjadi ketika sepasang yang akan
menikah itu menikah muda, pernikahan semacam ini biasanya berlangsung
karena mempunyai alasan, yaitu karena melihat berdasarkan mimpi atau
suratan takdir tangan dari seorang yang akan melangsungkan pernikahan
ini.
2. Berdasarkan
jauh dekatnya suatu hubungan kekeluargaan, dapat diuraikan
sebagai berikut.:
a.
Pertuturken
Adalah
suatu pernikahan yang dimana terjadi karena seorang pria dan wanita
ini tidak mempunyai hubungan kekeluargaan, maksud kekeluargaan disini
adalah erimpal.
b.
Erdemu Bayu
Adalah
suatu pernikahan yang dimana terjadi, karena seorang pria dan wanita
yang akan menikah ini mempunyai suatu hubungan keluarga yaitu saling
erimpal.
c. Merkat
Senuan
Adalah
suatu pernikahan yang terjadi antara seorang pria yang menikahi
seorang putri dari puang kalimbubunya. Pada umumnya suatu pernikahan
seperti ini sangat dilarang.
d. La
Arus
Adalah
suatu pernikahan antara pria dan wanita, menurut suatu adat sangat
terlarang, contohnya menikahi turangnya, turang impal, atau puteri
dari anak berunya.
3.
Nangkih (Kawin Lari)
Dalam
suku Karo juga dikenal istilah kawin lari atau disebut dengan
Nagkih . Nagkih terjadii karena ada kemungkinan banyak dari
saudara yang ingin mengawini gadis tersebut, demi menjaga agar tidak
terjadi perpecahan keluarga,maka dengan sembunyi-sembunyi diatur
agar dilakukan acara ““Nangkih””. Selain itu Nangkih
bisa terjadi karena orang tua
sigadis tidak merestui perkawinan anaknya dengan laki-laki pilihan
anaknya, maka silaki-laki akan membawa sigadis kerumah anak
berunya.“Nangkih” artinya membawa si gadis ke
rumah anak berunya yang dilakukan oleh pria yang hendak
mengawininya. Dalam “Nangkih” ini ada acara atau kegiatan yang
perlu dilakukan. Tapi, sebelum dijelaskan tentang “Nangkih” ini
dapat dikemukakan bahwa bagi pria dan gadis yang tidak ada hubungan
keluarganya langsung, tapi tidak terlarang untuk menjadi suami
istri, apalagi kalau pasangan ini berpacaran beda kampung, di saat
inilah terjadi “Nangkih”.
Jadi
berdasarkan uraian di atas, ada dua jenis “Nangkih”, yaitu
“Nangkih” yang direstui dan “Nangkih” yang tidak direstui.
Secara
tradisional, maka orang melihat hari yang dianggap baik untuk
melakukan “Nangkih” tadi. Di sini berperan “Guru Sibeluh Niktik
Wari”. Biasanya bagi orang yang masih berpegang teguh pada adat ini
memilih hari untuk melakukan “Nangkih” ini. Hari tersebut antara
lain: Cukera Enem Berngi, Aditia Naik, Budaha Ngadep, Cukera Dua
Puluh Berngi, Nggara Simbelin, dan Budaha Medem.
Ketika diadakan acara angkih, disediakan “penadingen” atau barang
yang ditinggalkan untuk keluarga si gadis baik itu cincin, pisau
tumbuk lada, kain adat, dll.Sesampainya
di tempat nagkih, maka kedua orang tua yang hendak berumah tangga itu
diwajibkan “encekuh busan” (memasukan tangan ke dalam tempat
menyimpan beras). Maknanya agar kelak sesudah berumah tangga mereka
bekerja keras untuk mencari beras, demi kehidupan mereka dan
keturunannya. Mereka lalu duduk di tikar putih yang telah disediakan,
disuguhkan makanan seperti cimpa atau bohan rires. Maknanya adlah
agar di dalam berumah tangga mereka memperoleh kesenangan hidup.
Acara
nya biasanya diadatkan secara tradisional selama 4 hari, dan selama
empat ahri tersebut kedua mempelai tidak boleh menyebrangi sungai dan
melihat gunung. Maknanya untuk menambah kemesraan hubungan
silaturahmi antara keduanya.
Di malam pertama, kepada perempuan
diikatkan pada ujung kainnya “serpi mehuli” (mata uang gulden).
Keduanya harusmandi ke sungai dipagi hari kira-kira pukul 04.00.
Keesokan
harinya, dihujuklah anak beru pihak laki-laki member kabar kepada
orang tua pihak perempuan bahwa anaknya telah melangsungkan
perkawinan melalui “Nangkih”.
Pada
hari keempat setelah “Nangkih”, biasanya orang tua pihak
perempuan dating melihat anaknya yang sedang “Nangkih” dengan
membawa nasi beserta lauk pauknya. Tujuannya adalah menjaga perasaan
sianak serta melihat kondisi kehidupan si pria/kemapanan hidupnya.
Setelah acara makan selesai keluarga pihak laki-laki mengisi “sumpit”
Kalimbubu dengan isi gula merah dengan kelapa lalu diantarkan ke
batas desa. Untuk acara selanjutnya dilanjutkan dengan “Nganting
Manuk”.
3.
PROSESI
PERKAWINAN
1.
Pihak-Pihak Yang Terlibat
Di
kalangan orang Karo, Merga Silima, Rakut Sitelu,
Tutur Sepuluhsada(berasal dari tutur siwaluh dengan
tambahan 3 tutur), dan Perkade-kaden Sisepuluh Dua tambah Sada
terdapat suatu keunikan dalam prosesi awal pernikahan, yaiut maba
belo selambar/ ngembah belo selambar (secara harafiah
berarti membawa sirih selembar) yang dapat dikatakan sebagai prosesi
lamaran.
Menuju
acara perkawinan agung, ditemukanlah tutur sepuluhsadayang
terdiri atas:
Puang Kalimbubu
Kalimbubu
Sembuyak
Senina
Senina Sepemeren
Senina Separibanen
Senina Sendalanen
Senina Sepengalon
Anak Beru
Anak Beru Menteri
- Anak Beru Singukuri
Senina
Sepemeren dan Senina Separibanen adalah anak dari Puang
(dari garis keturunan ibu), sedangkan Senina Sepengalon dan
Senina Sendalanen berasal dari diri sendiri/keluarga pihak
laki-laki pelamar. Kenapa tutur siwaluh menjadi tutur
sisepuluhsada? Catatan sejarah menjelaskan bahwa bagi suku Karo,
angka 11 lebih keramat dari angka 8.
Dalam acara maba belo
selambar ini, pembuka acara adat adalah 5 kampil lengkap berisi
daun sirih, tembakau, rokok, pinang, kapur, dan gambir yang harus
ada.
Jika akan diadakan perkawinan, maka
harus tertulis jelas SIJALAPEN sebagai berikut.
1. Pihak Yang Mengawini (Si Empo)
Gelar Bapa Simupus (Nama Ayah Ayah
Kandung/ Nama Kakek dari Ayah)
Bapana/Sipempoken (Nama
Ayak Kandung)
Senina
Anak Beru Singerana
Anak Beru Cekoh Baka
- Anak Beru iangkip
2. Pihak Yang Dikawini (Si Sereh)
Gelar Bapa Simupus (Nama Ayah Ayah
Kandung/ Nama Kakek dari Ayah)
Bapana/Sipesereken (Nama Ayah
Kandung)
Senina
Anak beru Singerana
Anak Beru Cekoh Baka
Anak Beru Iangkip
- Kalimbubu
Selain itu perlu juga diketahui BATANG
TUMBA sebagai berikut.
Batang Unjuken = yang
menerima adalah orang tua perempuan yang kawin
Singalo Ulu Emas =
kalimbubu/impal dari ayah
Singalo Bere Bere = mama/
turang dari ibu
Singalo Perbibin = senina
dari ibu
Sirembah Kulau/Perkembaren
= bibi dari ayah/ turang ayah
- Perseninan = senina
Tahapan Prosesi
Prosesi
dan berbagai macam varian yang komplek dari sistem perkawinan dalam
adat karo diatas akan sangat jarang kita temui dewasa ini, bahakan
mungkin hampir tidak ada lagi Secara umum yang masih berlangsung
secara kronologis adalah sebagai berikut :
1.
Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/Nungkuni
Tahapan
ini adalah tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang
akan melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak
akan menyampaikan kepada “Anak
Beru”
masing-masing untuk menentukan hari yang baik untuk menggelar
pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu”
untuk membahas rencana “Mbaba
Belo Selambar”.
Tahapan ini adalah
tahapan perkenalan antara keluarga kedua belah pihak yang akan
melangsungkan pernikahan, sekaligus orang tua kedua belah pihak akan
menyampaikan kepada “Anak Beru” masing-masing untuk menentukan
hari yang baik untuk menggelar pertemuan di rumah pihak “Kalimbubu”
untuk membahas rencana “Mbaba Belo Selambar”
2. Mbaba Belo
Selambar
Acara
Maba Belo Selambar (membawa
selembar daun sirih) , adalah suatu upacara untuk meminang
seorang gadis menurut adat Karo yang bertujuan untuk menanyakan
kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh sanak saudara
terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo.
Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga perempuan dan
untuk sarana Maba Belo Selambar tersebut pihak pria membawa:
1. Kampil Pengarihi / Kampil Pengorat
2.
Penindih Pudun, Uis Arinteneng, Pudun dan Penindiken Rp.
11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat
dimulai maka terlebih dahulu dijalankan Kampil Pengarihi / Kampil
Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai
permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia menerima
maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan pihak pria sudah
dimengerti maksudnya dan pihak keluarga perempuan bersedia menerima
pinangan tersebut maka dibuatlah pengikat janji (penindih pudun)
berupa uang dan ditentukan kapan akan diadakan acara selanjutnya
yaitu Nganting
Manok. Pada waktu penyerahan uang
penindih pudun tersebut uang dimaksud diletakan pada sebuah piring
yang dilapisi dengan uis arinteneng (sejenis kain ulos).
Pada acara maba belo selambar
terdapat tiga tingkatan, yaitu:
1.
Tersinget-singet
2.
Sitandaan Ras Keluarga Pekepar/Nungkuni
3.
Maba Belo Selambar
3. Nganting
Manuk
Menjelang hari nganting manuk, kedua belah pihak
yang terlibat dudah menyampaikan undangan terhadap golongan adat
yang mempunyai kedudukan dalam masalah yang bakal dilaksanakan.
Acara Nganting Manok,
adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan
wanita guna membicarakan ganta tumba/unjuken ras mata
kerja yang artinya adalah tentang masalah pesta dan pembayaran
(uang mahar) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
keluarga perempuan. Dalam adat masyarakat Karo didalam membuat atau
merancang suatu pesta ada hak dan kewajiban dari pihak-pihak
Kalimbubu (pihak perempuan) yang terdiri dari, Singalo
bere-bere, Singalo perkempun, Singalo perbibin.
Adapun golongan adat yang berkompeten
dari pihak laki-laki dalam merundingkan perkawinan adalah sebagai:
1.
Sukut Siempo (Pihak yang kawin dari si pria)
2. Senina Silako
Runggu (saudara yang ikut bermusyawarah)
3. Senina Sepemeren,
Separibanen, Sepengalon
4. Anak Beru dan Anak Beru Menteri
5.
Kalimbubu Singalo Ulu Emas
6. Kalimbubu Singalo Perkempun (Puang
Kalimbubu)
Sedangkan golongan adat pihak
perempuan adalah:
1. Sukut Sinereh
2. Senina Silako Runggu
3.
Anak Beru dan Anak Beru Menteri
4. Kalimbubu Singalo Bere Bere
5.
Kalimbubu Singalo Perninin
6. Kalimbubu Singalo Perbibin
7.
Sirembah Kulau
Untuk
acara musyawarah “nganting manuk” ini, maka kelengkapan untuk
acara makan bersama ditanggung oleh pihak laki-laki. Musyawarah atau
Runggu dimulai setelah selesai acara makan bersama, Adapun tokoh yang
berbicara dari masing-masing pihak adalah “Anak Beru Tua”.
Ditampilkan dalam runggu ialah: Anak Beru Tua, Anak Beru Cekoh Baka,
Senina, Kalimbubu, dan Puang Kalimbubu.
Di
awal runggu, pertama kali anak beru laki-laki mempersembahkan 5
kampil (tempat sirih) lengkap dengan isinya. Adapun isi kampil
tersebut adalah sirih, gambir, kapur, pinang, tembakau, kacip
(pembelah pinang), dan toktok sirih. Kampil tersebut diterima anak
beru dari pihak perempuan lalu membaginya masing-masing satu kampil
kepada: Sukut Sinereh, Kalimbubu Singalo Bere Bere, Kalimbubu SIngalo
Perbibin, Senina Silako Runggu dan Anak Beru.
Dalam runggu ada beberapa hal yang
harus dibicarakan, yaitu:
1. Berapa jumlah uang hantaran/ batang
unjuken.
2. Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Bere
Bere
3. Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Perbibin
4.
Berapa uang hantaran kepada Kalimbubu Singalo Perninin.
5. Berapa
uang hantaran kepada Anak Beru.
Pihak Kalimbubu berhak menerima tukor (uang mahar) dari pihak
laki-laki yang kawin tersebut dan disamping itu berkewajiban pula
membayar utang adat berupa kado (luah) kepada pengantin. Hak
dari Kalimbubu tadi antara satu daerah/wilayah dengan wilayah
yang lain bisa berbeda jumlahnya tergantung kebiasaan setempat.
Kalau didaerah wilayah Singalor Lau (Tiga Binanga) yang harus
diberikan kepada Kalimbubu Singalo Bere-Bere Rp. 86.000,
Kalimbubu Singalo Perkempun Rp. 46.000, dan Kalimbubu
Singalo Perbibin Rp. 24.000 . Tapi bilamana yang melakukan
perkawinan tersebut dianggap keturunan ningrat (darah biru / Sibayak)
dan berada (kaya) maka uang mahar diatas biasa ditambahi dengan
jumlah tertentu sesuai kesepakatan.
Tetapi hal ini tidak terjadi patokan karena tidak ada keharusan
membayarkan uang tersebut tetapi hal dimaksud hanya sekedar sebuah
penghargaan (jile-jile) atau sebuah pernyataan kepada
masyarakat bahwa yang kawin tersebut bukan orang sembarangan.
Sesungguhnya uang mahar tadi masih ada yang berhak tetapi sesuai
tujuan tulisan yang akan diulas hanyalah uang mahar yang menjadi hak
dari Kalimbubu pihak perempuan tersebut. Disisi lain pihak
Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado
(luah).
Dirundingkan
juga kapan hari pesta perkawinan. Biasanya setelah sampai waktu
sebelas hari setelah nganting manuk, bagaimana bentuk pesta (dalam
Karo ada 3 tingkatan pesta perkawinan yaitu pesta singuda, yakni
hanya mengundang kerabat terdekat, pesta sintengah yaitu pesta yang
mengundang seluruh keluarga dan diadakan di jambur dengan perhitungan
beras yang dimasak sekitar 15 kaleng, dan pesta sintua, yang
diharuskan memorong sapi dengan ukuran kira-kira 7-8 kaleng sebagai
lauknya.) Jika diadakan pesta sintua, maka tulang putur diberikan
kepada Kalimbubu, tulang ikur jepada Anak Beru, dan tulang tagan
kepada pengual.
Untuk
memperkuat apa yang telah dirundingkan, terutama tentang hari-H
perkawinan dan sebagainya, disediakan tiga helai daun pandan oleh
Anak Beru laki-laki, diserahkan kepada pihak wanita,yaitu untuk
Kalimbubu, Anak Beru, dan Orang Tua wanita. Selain itu diberikan juga
“penindih pudun” (uang jaminan atas persetujuan yang telah
disepakati). Nanti setelah selesainya acar perkawinan “penindih
pudun”akan dikembalikan kepada keluarga laki-laki.
Jika
terjadi pengingkaran terhadap hasil nganting manuk tadi, jika yang
mengingkari adalah pihak laki-laki maka ia tidak berkewajiban
mengganti apa pun kepada keluarga wanita, tapi jika yang ingkar
adalah keluarga wanita,maka mereka harus membayar segala biaya yang
telah dikeluarkan dalam prosesi nganting manuk dengan berlipat ganda.
Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu
;
- Singuda, pesta adatnya dilakukan dirumah
saja,
- Sintengah, bila kumpul seluruh sanak family,
-
Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat
lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau
kerbau.
Pesta
Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu,
bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali
kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken,
jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja
Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya
turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun
denda, nambari pertuturen.
4.
Pasu-Pasu/Nikah
Perkawinan
dalam suku karo dilakukan untuk mendapat pengakuan dari adat dan
juga agama. Maka sebelum prosesi adat dilakukan dilangsungkan
pernikahan bagi yang menganut agama Islam atau pemberkatan bagi yang
beragama Kristen.
5. Kerja Adat
Pelakasanaan Kerja Adat
biasanya dilakukan selama seharian penuh di kampung pihak perempuan.
Tempat pelaksanaan Kerja Adat biasanya dilakukan di Balai Desa atau
yang biasa juga disebut dengan istilah “Jambur” atau “Lost”
Ini adalah tahapan
terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan. Telah syah
menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta
adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta
tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat
lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik
maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh
yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar
tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita.
Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta
kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba
berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta
dilaksanakan.
Lauk
pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua
bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan
penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu
juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama
sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu
Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Masing-masing
ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan
seperti yang telah dibagikan tadi.
Yang perlu ditempuh dan diselesaikan serta menjadi keharusen secara
menyeluruh dalam acara adat Karo hanya berkisar tentang pelaksanaan :
tukur (mas kawin/utang mahar) , bebere, perkempun, perbibin,
perkembaren. Selain itu perlu diketahui gantang tumba sebagai berikut
: batang unjuken, yang menerima adalah orang tua perempuan. Singalo
ulu emas, kalimbubu/impal dari bapak. Singalo bere-bere, mama/turang
dari Nande/Ibu. Singalo perbibin, senina dari nande/ibu. Sirembah
kulau/perkembaren, bibi turang ayah/bapak. Perseninan, senina.
Pemberian
tersebut tidak terikat dalam adat, namun merupakan simbol kegembiraan
dan doa restu belaka. Setelah suami-istri selesai di-osei , begitu
pula upacara adat kepada keturunan/anak mereka, acara selanjutnya
sebagai berikut : pengantin pria/wanita bersama keturunan/anak mereka
dipersatukan bersama kedua pengantin , kemudian diselimuti bersama
dengan uis gatip (kain adat Karo) di iringi doa restu dari kedua
pihak kalimbubu. Acara selanjutnya kedua pengantin/anak mereka di
jemput dan diarak beramai-ramai oleh anak beru menuju pentas
pelaminan (di daulat kembali sebagi pengantin baru).
Agenda
acara kemudian adalah pemberian kata sambutan (petuah- tuah) sesuai
dengan jadwal yang telah di persiapkan sebelumnya sebagai berikut :
ngerana sukut, sembuyak, sipemeren, siparibanen kemudian
landek/menari bersama kedua pengantin sekeluarga. Ngerana kalaimbubu
singalo ulu emas/bere-bere, kalimbubu singalo perkempun, singalo
perbibin, dilanjutkan landek/menari bersama pengantin sekeluarga.
Ngerana kalimbubu, puang kalimbubu, kalimbuibu singalo ciken-ciken,
seterusnya landek bersama kedua pengantin sekeluarga. Ngerana Anak
beru, anak beru Menteri, disambung landek bersama kedua pengantin
sekeluraga. Ngerana mewakili tamu undangan dan teman meriah, kemudian
landek bersama pengantin sekeluarga. Ngerana yang mewakili dari pihak
pemuka agama (Geraja bagi yang beragama Kristen dan Pengurus Majelis
Taklim bagi yang beragama Islam)di lanjutkan dengan menari bersama.
Ngerana kedua pengatin, guna ngampu ranan e kerina (menyambut seluruh
kata sambutan yang disampaikan tersebut diatas).
Pihak
Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado
(luah).
Kado (luah) KALIMBUBU SINGALO BERE-BERE, berupa:
Lampu
Menyala, maknanya adalah agar rumah tangga (jabu) yang
baru dibentuk tersebut menjadi terang kepada sanak keluarga
(kade-kade) pada khususnya dan terhadap semua orang pada
umumnya.
Kudin
Perdakanen ras Ukatna, maknanya adalah sebagai modal awal
membangun rumah tangga baru tersebut dengan harapan agar kedua
pengantin rajin bekerja mencari makan.
Pinggan
Perpanganen, maknanya adalah agar kedua mempelai mendapat berkat
dari Yang Maha Kuasa.
Beras
Meciho (page situnggong tare mangkok dan naroh manok
kemuliaan), maknanya adalah agar kedua mempelai tersebut selalu
serasi dan mendapatkan kemuliaan.
Manok
Asuhen (manok pinta-pinta), maknanya adalah agar keluarga
yang baru tersebut diberi rezeki yang baik dan apapun yang
dicita-citakan berhasil.
Amak
Dabuhen (amak tayangen ras bantal), maknanya adalah agar
keluarga baru tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
Demikian juga SINGALO PERKEMPUN membawa kado (luah) berupa:
Acara
makan siang bersama dilakukan tepat jam 13.00, seandainya acara
memberi nasehat/petuah belum selesai sebelum acara makan, maka
pemberian nasehat/petuah di lanjutkan selesai makan bersama, biasanya
upacara selesai jam 16.00 kalau anak berunya tepat mengaturkan
waktunya. Ada kalanya dalam acara adat perkawinan dimeriahkan
seperangkat gendang sarune atau keyboard, lajim juga setelah
pemberian petuah/nasehat oleh terpuk keluarga disambung menari
bersama terpuk tersebut. Juga biasa dilakukan setelah selesai
“pedalan tembe tembe” dimana pengantin wanita dijemput oleh
“terpuk si empo” (keluargta pengantin laki- laki) diadakan menari
bersama, kemudian menari dan menyanyi kedua pengantinnya. pada saat
itu banyak keluarga memberikan”sumbangan langsung untuk perjabun
pengantin berupa lembaran- lembaran uang” kadang kadang sumbangan
itu mencapai jutaan rupiah.
6. Persadan
Tendi/Mukul
Pelaksanaan Persadan
Tendi dilakukan pada saat makan malam sesudah siangnya dilakukan
Kerja Adat bagi pengantin pria dan wanita. Dalam pelaksaan Persadan
Tendi ini akan disiapkan makanan bagi kedua pengantin yang tujuannya
adalah untuk memberi tenaga baru bagi pengantin. Pengantin akan
diberi makan dalam satu piring yang sudah siapkan.
Setelah acara pesta selesai diadakan, dilanjutkan dengan acara makan
bersama (mukul) kedua pengantin yang dibarengi sanak keluarga
terdekat. Acara ini diadakan dirumah kedua pengantin dan kalau
rumahnya belum ada, diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki
tetapi kalau didaerah Langkat acara mukul ini diadakan dirumah
pengantin perempuan. Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul
atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru
tersebut. Untuk acara tersebut oleh Kalimbubu Singalo
Bere-Beredisiapkanmanoksangkepberikutsebutirtelurayam
Untuk
tempat makan disiapkan pinggan pasu beralaskan uis arinteneng
diatas amak cur. Didaerah Langkat acara Mukul ini diawali
dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju
rumah orangtua pengantin perempuan dan sesampai dipintu rumah
orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk
ditepung tawari dengan ngamburken beras meciho kepada kedua
pengantin. Hadirin lalu “ralep-alep” dan “ndehile” dan
ketika nepung wari (njujungi beras) ini Kalimbubu memberi
petuah atau berkat (pasu-pasu) : “Enda amburi kami kam alu
beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana”.
(ini kami hamburkan/tuangi kalian dengan beras putih bening, karena
itu keras(kuat) pun beras ini lebih keras(kuat) Roh kalian
berdua.
Setelah itu baru masuk kerumah dan dilanjutkan dengan
acara suap-suapan antara kedua pengantin. Bibi pengantin kemudian
memberi sekepal nasi kepada masing-masing pengantin dan si suami
menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si
istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Sebelum
makan biasanya makanan ayam dan telur sebutir untuk kedua pengantin
tersebut diramal dulu maknanya oleh guru (dukun/paranormal) dan
biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua
suamiistriyangbarutersebut.
Bahwa
didalam semua upacara adat Karo dalam proses melamar, membayar
utang adat kepada Kalimbubu semua sarana-sarana kelengkapan
adat seperti misalnya belo bujur diletakkan diatas uis
arinteneng yang diletakan diatas piring dan amak cur.
Belo bujur ini bermakna supaya diberkati Tuhan dan uis
arinteneng tersebut bermakna supaya roh-roh menjaditenang.
Melihat
proses-proses perkawinan tersebut penuh dengan simbol-simbol yang
bermakna kepercayaan maka benarlah hasil penelitian A. Van Gennep
seorang Sosiolog bangsa Perancis yang mengatakan perkawinan pada
masyarakat Karo adalah bersifat religius. Dan seperti apa yang
dikutip oleh Darwan Prinst S.H, dalam bukunya adat Karo sifatnya
religius dari perkawinan adat Karo dimaksud terlihat dengan adanya
perkawinan maka perkawinan tersebut tidak hanya mengikat kedua belah
pihak yang hadir saja, tapi juga mengikat keseluruhan keluarga
kedua-kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.
7. Ngulihi Tudung
Ngulih tudung
dilaksanakan setelah 2-4 hari setelah hari Pesta Adat berlalu. Orang
tua pihak laki-laki kembali datang kerumah Orang tua pihak perempuan
(biasanya pihak orang tua laki-laki membawa makanan dan lauk). Dalam
prosesi Ngulihi Tudung dilakukan untuk mengambil kembali
pakaian-pakaian adat pihak laki-laki yang mungkin ada tertinggal di
Desa pihak perempuan disaat pesta adat digelar.
Ertaktak
Pelaksanaan ini
dilakukan di rumah pihak kalimbubu (pihak perempuan) pada waktu yang
sudah ditentukan, biasanya seminggu setelah kerja adat. Disini
dibicarakanlah uang keluar saat pergelaraan pesta adat dilaksanakan.
Dibicarakan pula tenang pengeluaran kerja adat yang sudah dibayar
terlebih dahulu oleh pihak anak beru, sembuyak dan juga Kalimbubu.
Setelah acara Ertaktak dilaksanakan, maka semua pihak baik
Kalimbubu, Sembuyak, dan Anak Beru akan makan bersama-sama.
Referensi:
-www.karoweb.or.id
-www.karo.or.id
-www.karosiadi.blogspot.com